Kamis, 13 Februari 2020

Oh, Percayalah Padaku!




Kehidupan ini aneh. Termasuk bertemu denganmu adalah hal aneh. Dan membuatku menjadi aneh. Aku bilang aku menyukaimu, dan kamu menolaknya mentah-mentah. Kau bilang, aku menguntit  hingga ke lubang sempit para dedemit. Wek!

Aku bukanlah polisi reserse yang akan menjadikanmu sosok buronan. Hanya orang-orang bodoh  yang membuat yang disayanginya menjadi tak aman. Betapapun, pengalaman itu tak menenangkan ataupun mungkin menyakitkan. Sebab perasaan sayang dan cinta takkan berubah dan berganti, hanya gara-gara penolakan. Karena anggapanmu sendirilah, akhirnya aku tampak membayang-bayangimu.

Sesungguhnya, aku hanyalah sosok yang pasif, pendiam, dan pemalu. Makanya aku menembakmu sekali. Aku tak seperti dalam tulisan-tulisanku yang pernah kau baca. Yang selalu setia menampilkan sosok lelaki yang tangguh dan militan untuk setia pada satu cinta dan kukuh mengejar Aku hanyalah seorang pemimpi. Kemudian menampilkan sosok imajiner perempuan maskulin yang suatu saat dialah yang menembakku tanpa perlu ditembak.

Karena, aku pasif dan bukan termasuk kalangan lelaki pemberani. Aku hanya seseorang yang memimpikan sosok Srikandi. Sosok maskulin yang menembakku suatu saat. Aku tetapi, aku tak pernah bermimpi jadi seorang Arjuna dengan setumpuk kisah asmara dengan segepok cinta tergemgam. Aku hanya bermimpi tentang satu cinta. Kau.

Kau tahu, banyak cinta itu pertanda kuat, dia tak pernah mengalami jatuh cinta! Kau tahu, Arjuna itu layak dikasihani. Kalau kau intip ruang terdalam batinnya, sesungguhnya dia sedang gelisah dan putus asa. Lihatlah ada sesuatu menetes di sana, di dalam rongga-rongga dadanya [dia terluka!]. Dari sekian perempuan yang ditaklukkan, tak satu pun yang membuatnya jatuh pada cinta. Makanya, bukannya dia playboy.

Dia hanya seorang lelaki yang putus asa. Percayalah!  Aku termasuk lebih beruntung dari dia. Sebab aku telah menemukan cinta itu. KAU. Ya, meskipun lalu tak termiliki. Tidak perlu kau bilang, aku tidak layak jadi Lelaki. Aku hanyalah sosok yang dominan feminim Itu saja. Kalaupun masih kau anggap begitu? Jika demikian, si Gibran pun feminim. Bacalah tulisan-tulisannya. Apakah dia tidak layak jadi lelaki? Namun bukan feminitas seperti Romeo yang lalu memilih menanggalkan nalar, dengan mementingkan sisi dramatisnya

Srikandi dominan maskulin. Apakah dia tidak patut jadi perempuan? Bukan berarti maskulinitas layaknya Condolirize sang juru bicara AS itu. Sesungguhnya, feminimitas bukanlah milik perempuan Hanya saja, akan lebih sempurna jika perempuan juga maskulin. Maskulinitas bukanlah milik otoritas lelaki Tentu, akan lebih lengkap jika dia juga menyimpan feminimitas Bukankah begitu? 

Apa kau setuju? Sesungguhnya, aku takkan membencimu; hanya gara-gara soal-soal itu. Atau,
karena tak memilikimu. Setiap manusia menyimpan kelemahan. Dan, kelebihan itu
ada di tempat lain dan akan melengkapi.

Apakah itu aku?

Nah, semoga aku mulai lebih maskulin sekarang. Aku tidak sedang menggoda. Sungguh.
Percayalah. Dan yakinlah! Dengan seyakin-yakinnya keyakinan yang teryakini.

Apa kau, percaya?

[ah, kau selalu begitu. Senyum dikit napa sih??]
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Slider

Kategori

Recent Posts

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support